Puisi Fadli Zon Menjadi Bumerang bagi Kubu Prabowo Subianto

Jokowi (Kompas.com)

 

JOKOWI menanggapi dengan santai ketika ditanya mengenai puisi-puisi Fadli Zon dari Partai Gerindra yang berisi ejekan-ejekan kepada dirinya. Terakhir kalinya, Wakil Ketua Umum Gerindra itu mempublikasikan puisinya yang berjudul “Raisopopo” untuk menyindir dan mengejek Jokowi yang dianilai tidak bisa apa-apa.

“Hanya puisi saja kok, ya angin lalu lah. Tetap Aku Rapopo,” kata Jokowi seraya tertawa dan menggerakkan bahunya (Kompas, 18/4/2014).

Jokowi berpendapat bahwa karya Fadli Zon itu sebenarnya bukan puisi. Karena tradisi puisi di Indonesia biasanya berisi kritik sosial. Maka itu, bagi Jokowi, Fadli bukan seorang sastrawan. Jokowi sukanya baca puisi karya sastrawan seperti WS Rendra, Chairil Anwar, dan Wiji Thukul.

Wiji Thukul adalah salah satu dari sastrawan dan aktivis yang hilang dalam kerusuhan Mei 1998, di kala kekuasaan Order Baru di ujung tanduk. Dia diduga kuat hilang diculik oleh kelompok militer tertentu di Kopassus, yang di kala itu (1996-1998) memang giat melakukan penculikan-penculikan aktivis, sebagai bagian dari upaya membungkam suara-suara yang berani melawan Presiden Soeharto. Sebagian aktivis yang hilang diculik itu sampai hari ini belum kembali, Wiji Thukul (lahir 1963) adalah salah satunya.

Sampai hari ini juga baru terungkap salah satu pelakunya adalah Tim Mawar pimpinan Prabowo Subianto. Para penculik itu sudah dihukum oleh pengadilan militer, sedangkan Prabowo, atas rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira, dipecat oleh Panglima ABRI ketika itu, Jenderal Wiranto, sebagai prajurit TNI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal

Adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo mengaku senang mendengar pengakuan Jokowi yang suka membaca puisi-puisi karya kakaknya itu. Dia membenarkan, Jokowi memang sejak dulu suka membaca puisi-ouisi kakaknya itu. Wahyu masih ingat saat menjadi Wali Kota Solo, Jokowi selalu menggelar acara peringatan Orang Hilang di rumah dinasnya, Loji Gandrung.
“Saya jadi teringat, tahun 2010 lalu, Jokowi menggelar acara peringatan orang hilang. Di sana, puisi-puisi karya kakak saya dibacakan. Jokowi suka dengan puisi kakak saya yang berjudul ‘Peringatan’,” ujar Wahyu Susilo saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/4/2014).

Jika kita bertanya kepada Fadli Zon dan Prabowo Subianto, apakah mereka juga mau melakukan hal yang sama yang biasa dilakukan Jokowi itu, yaitu menyelenggarakan peringatan tahunan tentang orang-orang yang hilang diculik itu, apakah jawab mereka?

Jadi, kita usulkan saja Prabowo sebagai tuan rumah acara itu, dan Fadli Zon membaca puisi-puisinya Wiji Tuhukul, bagaimana?
Salah satu puisi Wiji Thukul yang kita akan usulkan untuk dibaca Fadli Zon di hadapan Prabowo Subianto adalah puisi yang juga suka dibaca Jokowi, judulnya “Peringatan.”

wiji-tukul

Puisi Peringatan, Oleh Wiji Thukul (Sumber: sesawi.net)

Buklet kumpulan puisi Wiji dengan judul Para Jenderal Marah-marah (Majalah Tempo)
Buklet kumpulan puisi Wiji dengan judul Para Jenderal Marah-marah (Majalah Tempo)

Sepotong kata, “Lawan!” di akhir puisinya itulah yang kemudian menjadi sangat populer di kalangan aktivis anti-Soeharto. Bahkan sampai sekarang, untuk menyatakan perlawanan terhadap ketidaksewenang-wenangan dari penguasa. Soeharto pun menjawab “Lawan!” itu dengan menculik mereka yang melawannya, sebagian di antaranya dihilangkan untuk selamanya. Prabowo Subianto adalah bagian dari mesin-mesin penculik itu.

Almarhum Munir pernah menulis komentarnya tentang puisi “Peringatan” karya Widji Thukul ini. Munir menulis: “Hanya satu kata, Lawan! Kalimat pendek itu lebih dikenal ketimbang Wiji Thukul, penyair yang menuliskan puisi perlawanan tersebut. Hanya satu kata, lawan! telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme. Ia telah menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan.”
Munir meninggal dunia secara misterius karena diracun pada 7 September 2004 di dalam penerbangannya dengan pesawat Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam, setelah transit di Singapura. Di masa hidupnya dia dikenal sebagai aktivis Dewan Kontras, pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar (Wikipedia).

 

Kenapa Fadli Zon suka menyerang Jokowi dengan pusi-puisinya?
Kata orang bijak, orang itu biasanya menilai orang lain berdasarkan tolok ukur karakter dirinya atau kelompoknya sendiri. Maka itu, Fadli mengira kalau Jokowi itu seperti Soeharto dan Prabowo, dan juga dirinya sendiri, yang “hanya” gara-gara puisi, langsung menjadi murka. Lalu, bereaksi secara berlebihan, dan melakukan blunder-blunder yang merugikan pihaknya sendiri.
Namun, Fadli Zon sangat kecele. Jokowi tetap tenang dan santai, menganggap puisi-puisinya itu hanya seperti angin lalu saja, bagi Jokowi tetap saja serangan-serangan itu baginya “raopopo.”
Sebaliknya, bagi kubu Fadli Zon dan Prabowo, serangan itu malah menjadi bumerang bagi mereka.

Simpatisan Jokowi, Fadjroel Rahman, misalnya menantang Fadli Zon membuat puisi tentang penculikan. Sedangkan, Fahmi Habcy, simpatisan PDIP-Jokowi (Projo) pun membalas puisi Fadli Zon dengan puisi juga. Dia sudah membuat 4 puisi khusus untuk membalas puisi Fadli itu, judulnya “Pemimpin Tanpa Kuda”, “Rempong”, “Aku Iso Opo”, dan yang keempat mengenai hilangnya Widji Thukul. Puisi ini dibuat mewakili suara hati istri Wiji Thukul, Siti Dyah atau Mbak Sipon, judulnya “Kembalikan Mas Wiji …”
Kita tunggu, apakah Fadli Zon masih bersemangat menyerang Jokowi dengan puisi-puisinya lagi? ***

Sumber: Kompasiana, 19/04/2014

Juga baca:

Leave a comment