Editorial KOMPAS: Tragedi Kemanusiaan Mei 1998

TRAGEDI 16 tahun lalu dengan ribuan korban, 4 mahasiswa Universitas Trisakti tewas, dan penculikan orang, perlu dijelaskan duduk perkaranya.
Peristiwa faktual menunjukkan kerusuhan rasial terjadi. Bagi yang tidak mengalami langsung, tragedi itu hanya berupa empati, tetapi yang merasakan langsung niscaya meninggalkan trauma. Ada yang menyebut, dari sisi kebiadaban, peristiwanya tidak kalah sadistis dan brutal dibandingkan pasca-30 September 1965.Tidak dilanjutkannya Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei, menengarai tragedi itu dimasukkan dalam salah satu dark number dari perjalanan sejarah Indonesia. Tidak ada follow up, dibiarkan dilupakan, ibarat tumbal.Belum jelasnya nasib 13 korban penculikan, 10 lainnya sudah kembali ke masyarakat, menjadi bagian utuh perlunya kejelasan. Bahkan, bukan hanya kejelasan, melainkan juga penegakan hukum agar jelas penanggung jawabnya. Dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memasukkannya sebagai kejahatan kemanusiaan, kejelasan nasib 13 korban penculikan menjadi utang yang harus dibayar setiap pemerintahan pasca-reformasi 1998.

Hingga empat kali ganti pemangku pemerintahan pasca- 1998, Tragedi Kemanusiaan 1998, terutama nasib 13 korban penculikan, tidak pernah terungkap jelas. Jeritan keluarga korban penculikan dan aktivis kemanusiaan dibiarkan sirna. Mereka ibarat berseru-seru di padang gurun.

Rencana Komnas HAM memanggil Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI AD, perlu kita dukung bersama. Rencana itu kelanjutan pernyataan Kivlan Zen sebelumnya, yang mengaku tahu penculikan para aktivis politik tahun 1997/1998. Kesaksiannya tentu berarti amat penting untuk menguakkan kebenaran tragedi memalukan sebagai bangsa Indonesia tahun 1998 itu.

Disandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, kasus penculikan, apalagi dengan ketidakjelasan nasib 13 korban, merupakan kasus kejahatan kemanusiaan yang relatif dekat.

Kedekatan tidak hanya faktor waktu dan tingkat kesulitannya lebih mudah dilacak, tetapi juga dalam konteks kasusnya kait-mengait dengan tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, kerusuhan Mei, tertembaknya mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta, lengsernya Soeharto, dan hadirnya pemerintahan baru. Itulah silih atas utang yang secara etis moral harus dilunasi pemerintahan pasca-1998.

Kejelasan atas kasusnya adalah hak manusiawi di satu sisi secara universal. Bagi kita, bangsa Indonesia menjadi bahan belajar agar tidak terulang kembali. Ada harapan, SBY-Boediono bisakah meninggalkan duduk perkara Kerusuhan Mei 1998 sebagai legacy yang harum setelah 10 tahun pemerintahan. Keterangan Mayjen (Purn) Kivlan Zen tempatkan sebagai pintu masuk!

Sumber: Kompas, 12/05/14

Juga baca:

Leave a comment