Tudingan Nazaruddin dan Tuan (Tanpa) Tanah…

Antony Lee

Muh (37) sejenak meninggalkan pekerjaannya untuk memberi makan kambing di belakang rumahnya, Senin (25/7) siang. Rumah itu hanya beberapa ratus meter dari proyek tempatnya mencari nafkah sebagai buruh di proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.

Proyek yang berada sekitar 7-8 kilometer dari Sirkuit Sentul itu mendadak tenar dalam empat minggu terakhir ini. Persisnya setelah Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga tersangka kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, melontarkan tudingan seputar korupsi di proyek itu.

Melalui pesan yang disampaikan lewat sejumlah media, Nazaruddin yang kini buron menyatakan, proyek itu merupakan salah satu dari sejumlah proyek pemerintah yang menjadi arena ”bancakan” sejumlah petinggi Partai Demokrat.

”Untuk proyek Hambalang Rp 1,2 triliun, dana yang sudah dialokasikan Rp 100 miliar. Dengan perincian ke DPR lebih kurang Rp 30 miliar lewat pengusaha teman Anas (Urbaningrum) namanya Mahfud, Rp 50 miliar untuk pemenangan Anas waktu kongres (Partai Demokrat di Bandung, 2010), dan tim konsultan Anas sebagai calon presiden Rp 20 miliar,” papar Nazaruddin dalam pesannya kepada Kompas, awal Juli lalu. Alokasi uang Rp 100 miliar itu, lanjut Nazaruddin, sebagai ”kompensasi” setelah Anas memerintahkan pemenang tender proyek itu adalah dua badan usaha milik negara, PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya.

Nasib proyek Hambalang, menurut Nazaruddin, akhirnya tidak jauh berbeda dengan proyek pembangunan wisma atlet di Palembang yang menjadikannya tersangka. Dari nilai proyek wisma atlet sebesar Rp 200 miliar, ada dana Rp 9 miliar untuk DPR dan Rp 7 miliar untuk tim pemenangan Anas di Kongres Partai Demokrat tahun 2010.

Tudingan Nazaruddin ini tentu saja disangkal oleh para petinggi Partai Demokrat. Sambil menyatakan tidak tahu-menahu, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum meminta Nazaruddin untuk memberikan data yang dimilikinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi agar dapat diproses hukum.

Sampai sekarang belum diketahui ”tudingan dan data” siapa yang benar dalam kasus itu. Yang pasti, di papan proyek di pintu masuk menuju lokasi proyek di Hambalang, tertulis kontraktor pelaksana proyek adalah kerja sama operasi (KSO) antara PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya, dengan waktu pelaksanaan 752 hari kalender, 10 Desember 2010 sampai 31 Desember 2012. Pintu masuk proyek itu dijaga petugas keamanan. Pengelola proyek menolak untuk ditemui. Namun, situs http://www.tender-indonesia.com menyebutkan, PT Adhi Karya mendapat tender Rp 1 triliun dalam proyek itu.

Bagi Muh, membayangkan uang Rp 100 miliar yang diduga ”diselewengkan” dalam proyek tempatnya bekerja juga sudah sulit. ”Uang Rp 100 miliar itu kayak apa, saya enggak tahu. Saya nyari uang Rp 10.000 saja susah,” tutur ayah tiga anak yang mengaku tak tahu ”perilaku” orang-orang ”atas”.

Namun, Muh merasa kena ”getahnya”. ”Teman saya sampai ada yang kirim SMS dari Jawa sana,” tutur Muh, yang sudah tujuh bulan terakhir bekerja di proyek itu. Ia lalu membuka pesan singkat di telepon genggamnya, dan menunjukkan isinya, ”Pak, proyeknya mau disegel ya?” Muh menjawab melalui SMS, ”Enggak tahu, iya kali.”

Sebelum bekerja di proyek itu, Muh termasuk salah seorang penggarap di lahan seluas 32 hektar yang dijadikan lokasi proyek tersebut. Ia menggarap lahan seluas 600 meter persegi. Namun, saat hendak digunakan, ia mendapat ”tali asih” Rp 1.000 per meter dari pemerintah.

Proyek pusat

”Proyek itu sepenuhnya direncanakan pemerintah pusat, yakni Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pemerintah Kabupaten Bogor tidak terlibat dalam proses itu kecuali nanti kalau sudah selesai untuk penggunaan,” tutur Sekretaris Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bogor Otje Subagja.

Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam siaran persnya pada 4 Februari 2010 menuturkan, pusat pelatihan di Hambalang diharapkan dapat menampung 600 pelajar SMP dan SMA untuk dibina menjadi atlet andal nasional. Pusat pelatihan itu juga akan menggantikan Sekolah Atlet Ragunan yang saat ini sudah menjadi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Di sekitar lokasi proyek itu banyak lahan kosong yang dikuasai pengembang. Data Desa Hambalang, dari luas lahan desa 2.400 hektar, setidaknya 1.600 hektar dikuasai beberapa perusahaan besar. Sisanya milik warga setempat atau penduduk luar Hambalang. ”Sebanyak 80 persen warga kami itu petani. Sebagian besar dari itu merupakan petani penggarap yang tidak punya tanah. Mereka menggarap lahan tidur itu,” tutur Kepala Desa Hambalang Encep Dadi.

Oleh karena itu, warganya membutuhkan alih pekerjaan agar tidak bingung saat lahan tidur itu dimanfaatkan perusahaan. Apalagi, kata dia, dari 3.700 keluarga di Desa Hambalang, sekitar 1.000 keluarga tergolong kurang mampu.

Namun, seperti halnya Muh yang sulit membayangkan uang Rp 100 miliar, kebutuhan warga Desa Hambalang itu mungkin juga masuk pikiran dan hati sebagian ”orang atas” yang sedang disibukkan dengan polemik dugaan ”penjatahan proyek” seperti yang dibuka Nazaruddin.(NWO)

Kompas 27 Juli 2011

Leave a comment